Jumat, 12 November 2010

kespro 2010

Dampak Pubertas dan Menstruasi pada Kesehatan Gigi
Oleh Julie pada Sel, 12/11/2007 - 12:08.
• Artikel
Peningkatan produksi hormon seks pada saat pubertas umumnya akan menyisakan keadaan yang konstan bagi kehidupan reproduksi seorang perempuan. Masa pubertas pada perempuan ditandai dengan dimulainya siklus menstruasi. Peningkatan hormon seks memicu pelebaran pembuluh darah kecil pada gusi. Pelebaran darah tersebut dapat dilihat dengan adanya gusi yang memerah, perdarahan pada radang gusi, dan bengkak.
Mikroba pada fase di atas berubaha dari flora mikroba yang “menyehatkan” menjadi mikroba yang bersifat destruktif atau bersifat pathogen. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan kadar hormon dalam darah dimana bakteri patogen dapat menggunakannya untuk terus tumbuh dan bertambah banyak (berproliferasi). Keberadaan plak dan karang pada gigi juga akan semakin memperburuk kondisi di atas.
Hal ini semakin menguatkan akan pentingnya penanaman kebiasaan kesehatan gigi di usia dini, serta melakukan pemeriksaan dan pembersihan gigi secara rutin. Kecenderungan kasus peradangan dan gigi yang bengkak dihubungkan pada masa pubertas dan akan semakin menurun ketika sudah usia lanjut.
Namun demikian, perempuan mengalami peradangan menjelang datangnya masa menstruasi. Munculnya gusi merah, bengkak, perih pada gusi.dan luka pada mulut menjadi tanda yang biasa. Tanda-tanda peradangan akan menghilang seiring dengan datangnya periode menstruasi. Oleh karena itu, higienitas mulut yang tidak adekuat dapat meningkatkan keparahan gangguan mulut yang menyebabkan rasa tak nyaman.


Sepuluh Penyebab Perdarahan Berat Saat Haid
Oleh Julie pada Sel, 12/11/2007 - 16:18.
• Artikel
Sebagian perempuan mungkin pernah mengalami dan merasakan perdarahan yang berat saat haid. Terkadang kita sering berpikir apakah perdarahan tersebut termasuk normal atau tidak (perdarahan berat saat haid/ menorrhagia).
Lalu bagaimana cara kita tahu perdarahan yang kita alami termasuk tidak normal? Cara termudah adalah dengan mencatat seberapa sering kita mengganti pembalut atau tampon. Seseorang didiagnosa menderita menorrhagia (perdarahan berat saat haid), jika selama haid, harus sering mangganti pembalut lebih dari 1-2 jam sekali, atau jika selama seminggu penuh kita mengalami perdarahan yang banyak.
Sepuluh penyebab teratas perdarahan berat saat haid (menorrhagia):
1. Ketidakseimbangan hormon saat remaja atau menjelang masa menopause merupakan penyebab yang terbanyak . Pada saat remaja setelah datangnya haid untuk pertama kalinya, dan beberapa tahun sebelum datangnya menopause, kadar hormon mengalami proses fluktuasi yang bisa berakibat perdarahan berat. Oleh karena itu, seringkali untuk menangani menorrhagia akibat ketidakseimbangan hormon melalui pemberian pil KB atau hormon lain.
2. Tumor fibroid pada rahim. Perlu diketahui bahwa tumor fibroid bersifat tumor jinak dan biasanya terjadi di usia 30an atau 40an tahunan. Hingga kini penyebabnya belum jelas. Beberapa operasi tersedia untuk mengatasi tumor fibroid mulai dari myomectomy, endometrial ablation, uterine artery embalization, dan terapi balon rahim seperti juga hysterectomy. Pengobatan non-operasi menggunakan agonists gonadotropin releasing hormone (GnRH), kontrasepsi oral, hormon androgen, RU486 atau mifepristone salah satu jenis pil aborsi, dan gestrinon. Agonist GnRH adalah obat yang bekerja melawan GnRH pada otak. Sedangkan beberapa perempuan mengaku pengobatan alami lebih efektif. Jika masa menopause muncul, tumor biasanya ukurannya mengecil dan menghilang meski dengan tanpa pengobatan.
3. Polip serviks. Polip berukuran kecil, tumbuh di permukaan mukosa serviks, atau pada saluran endoserviks dan menonjol pada mulut serviks. Penyebabnya belum jelas, namun seringkali akibat infeksi dan dikaitkan dengan respon abnormal terhadap meningkatnya kadar estrogen atau terhalangnya pembuluh darah kecil pada serviks. Sebagian besar perempuan yang menderita polip serviks adalah yang berusia 20 tahun dan telah memiliki anak. Biasanya diobati dengan pengobatan rawat jalan.
4. Polip endometrium. Dia bukan kanker, tumbuh dan menonjol dipermukaan rahim. Penyebab belum jelas, walaupun demikian keberadaannya sering dihubungkan dengan kelebihan kadar estrogen atau beberapa tipe tumor ovarium. Pengobatan dilakukan dengan hysteroscopy dan D&C. Dengan pemeriksaan laboratorium patologi maka akan diketahui status polip, apakah mengarah ke kanker atau tidak.
5. Penyakit Lupus. Lupus adalah peradangan kronis pada beberapa bagian tubuh, khususnya kulit, tulang sendi, darah dan ginjal dan termasuk penyakit autoimun. Para penderita Lupus diyakini mempunyai kecenderungan genetik Lupus. ilmuwan meyakini bahwa faktor lingkungan, infeksi, antibiotik (Sulfa dan Penicillin), sinar UV, stres yang berat, hormon dan obat-obatan memicu munculnya gejala Lupus. Gejala-gejala antar pasien satu dan yang lain bervariasi, pengobatan dilakukan melalui mengindari stres berat hingga pengobatan non-steroid anti peradangan atau NSAIDS, asetaminofen, steroids, antimalarial sytoksik atau obat immunosuppressif, dan antikoagulan.
6. Penyakit Radang Panggul (PRP) adalah infeksi satu atau lebih organ yang berakibat pada rahim, tuba falopi, dan serviks. PRP sering disebabkan oleh infeksi menular seksual. Pengobatan PRP yang dianjurkan yaitu dengan terapi antibiotic.
7. Kanker serviks. Muncul ketika sel-sel pada serviks berkembang abnormal dan jumlahnya tidak terkendali dan menghancurkan bagian-bagian tubuh yang sehat. Hampir lebih dari 90% kanker serviks disebabkan oleh Human papillomavirus (HPV). Pengobatan dapat dilakukan dengan operasi, kemoterapi dan terapi dengan radiasi.
8. Kanker endometrium. Perempuan yang divonis kanker endometrium, umumnya berusia lebih dari 50 tahun, pernah mengalami hyperplasia pada endometrium, atau sering menggunakan terapi penggantian hormon (hormone replacement therapy). Pengobatan pertama dilakukan melalui pengangkatan rahim (hysterectomy), jika memungkinkan dengan kemoterapi atau radiasi.
9. Intrauterine devices (IUD). Perempuan yang menggunakan IUD berisiko mengalami perdarahan saat haid. Bila hal ini terjadi segera ganti IUD dengan metode kontrasepsi yang lain yang sesuai.
10. Gangguan perdarahan. Jika perdarahan yang timbul sulit untuk dihentikan. Jenis paling umum penyebab gangguan perdarahan von Willebrand Disease (VWD).

sumber:
http://womenshealth.about.com/od/abnormalbleeding/a/causemenorrhagi.htm

Strategi Memperluas Pendekatan Inovatif pada Program Kesehatan Reproduksi Remaja di Asia
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 10:15.
• Artikel
Pendahuluan
Program kesehatan reproduksi remaja mulai menjadi perhatian pada beberapa tahun terakhir ini karena beberapa alasan:
• Ancaman HIV/AIDS menyebabkan perilaku seksual dan kesehatan reproduksi remaja muncul ke permukaan. Diperkirakan 20-25% dari semua infeksi HIV di dunia terjadi pada remaja1. Demikian pula halnya dengan kejadian PMS yang tertinggi di remaja, khususnya remaja perempuan, pada kelompok usia 15-292.
• Walaupun angka kelahiran pada perempuan berusia di bawah 20 tahun menurun, jumlah kelahiran pada remaja meningkat karena pertumbuhan populasi remaja. Diperkirakan bahwa 40% dari semua anak perempuan berusia 14 tahun yang hidup akan hamil paling tidak sekali saat mereka berumur 20 tahun3. Selain itu, sebagian besar mereka masih belum memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan seksual atau kesehatan reproduksi serta pelayanan yang dibutuhkan.
• Bila pengetahuan mengenai KB dan metode kontrasepsi meningkat pada pasangan usia subur yang sudah menikah, tidak ada bukti yang menyatakan hal serupa terjadi pada populasi remaja.
• Pengetahuan dan praktik pada tahap remaja akan menjadi dasar perilaku yang sehat pada tahapan selanjutnya dalam kehidupan. Sehingga, investasi pada program kesehatan reproduksi remaja akan bermanfaat selama hidupnya.
• Kelompok populasi remaja sangat besar; saat ini lebih dari separuh populasi dunia berusia di bawah 25 tahun dan 29% berusia antara 10-25 tahun.
Menanggapi hal itu, program aksi ICPD (alinea 7.41 sampai 7.48; lihat hal ix- xi) menyarankan bahwa respon masyarakat terhadap kebutuhan kesehatan reproduksi remaja haruslah berdasarkan informasi yang membantu mereka menjadi dewasa yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Walaupun telah diketahui secara luas kewajiban untuk memenuhi kebutuhan kesehatan seksual dan reproduksi remaja, tetap saja pelayanannya tertinggal jauh. Sebelumnya, telah ada proyek inovatif skala kecil, namun sangat sedikit usaha yang diambil untuk memperluasnya. Sebagai hasilnya, proyek skala kecil ini tidak memproduksi pola program yang dapat diterima secara luas untuk kesehatan reproduksi remaja. Pada saat bersamaan, ada keterbatasan pengalaman baik untuk manajemen program maupun implikasi terhadap sumber daya. Sehingga aksi proaktif dibutuhkan untuk memperluas inovasi ini dengan mulus dan cost-effective.

Strategi untuk Pembenahan

Secara umum, proses untuk memperluas inovasi baru melalui tiga fase: inovasi, demonstrasi dalam latar program yang realistis dan ekspansi yang luas
Selama fase inovasi, efektivitas merupakan masalah utama. Pertanyaan kunci yang harus djawab adalah --apakah tujuan itu dapat dicapai dan bagaimana? Efikasi program intervensi diidentifikasi melalui proses percobaan. Inovasi mungkin terjadi di banyak negara dan dilaksanakan di banyak organisasi dalam sebuah negara.
Sehingga, sangat bermanfaat untuk dokumentasi sebuah inovasi yang menjanjikan dan menyebarluaskan pengalaman dan pelajaran yang didapat.

Efisiensi menjadi masalah utama selama fase demonstrasi. Inovasi dilakukan untuk melihat apakah mereka dapat disederhanakan dan jika ada kegiatan yang tidak perlu atau tidak efektif dapat dihilangkan. Sehingga inovasi yang terencana ini dilakukan dalam latar program yang realistis untuk evaluasi dampak dan identifikasi kegiatan yang dibutuhkan jika intervensi akan dilakukan dengan lebih luas.

Pada akhirnya, akan dikembangkan strategi perluasan. Bagaimana untuk memperluas dengan mempertahankan efektivitas dan efisiensi dari pengalaman yang didemonstrasikan menjadi fokus utama selama fase ini. Banyak manajer di tingkat menengah dan bawah butuh dilatih sebelum program intervensi dapat dilaksanakan dengan skala luas.




Dipandu dengan proses di atas, strategi ICOMP terdiri dari:




1. Dokumentasi program kesehatan seksual dan reproduksi remaja yang inovatif dan berhasil;
2. Diseminasi temuan dari hasil tersebut;
3. Lokakarya regional dan nasional untuk penyebaran yang lebih merata dari hasil dokumentasi dan advokasi kesehatan seksual dan reproduksi remaja;
4. Jejaring (networking). Pembentukan jejaring untuk berbagi informasi dan keahlian serta pemberdayaan pada remaja yang aktif di bidang kesehatan seksual dan reproduksi;
5. Pelatihan pada pelatih dan manajer, pengembangan kurikulum pelatihan, pelatihan petugas kesehatan dan konselor bekerja sama dengan lembaga ahli.
6. Menjalin hubungan (linkages). Bekerja sama dengan LSM, donor dan pakar untuk memberikan bantuan kepada organisasi dan pemerintah diharapkan mampu memperluas proyek inovatif.
Dengan dukungan SIDA, ICOMP memulai dengan identifikasi dan dokumentasi dari lima pendekatan inovatif pada kesehatan reproduksi remaja di Asia; India, Malaysia, Filipina, Sri Lanka dan Thailand. Dokumentasi meliputi tiga hal: (1) pelayanan; (2) kebutuhan manajerial; dan (3) biaya.
Sebagai tindak lanjut dari proses dokumentasi, sebuah lokakarya regional dengan dukungan SIDA, mengenai Pendekatan Inovatif dalam Program Kesehatan Reproduksi Remaja diadakan pada bulan Juni 1995. Lokakarya itu dihadiri oleh para inovator, manajer program, LSM, badan pemerintah dan internasional.




Pendidikan Kesehatan seksual dan reproduksi (Sri Lanka)
Dengan dukungan dan kerjasama dari pihak sekolah, Asosiasi Keluarga Berencana Sri Lanka (Family Planning Association of Sri Lanka/FPASL) mampu memberikan topik pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi ke sekolah di Sri Lanka, lalu mencakup hampir 200.000 anak sekolah usia 14-18 tahun dengan informasi mengenai fisiologi, reproduksi, dan penyakit. Tujuan utama dari pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi remaja adalah untuk membantu remaja dalam mendapatkan pengetahuan mengenai reproduksi, seksualitas, dan PMS termasuk HIV/AIDS.
Proyek ini merupakan program yang berbasis di sekolah di mana guru yang terlatih mengadakan sesi selama 3 jam pada topik yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi remaja menggunakan materi audio-visual yang beragam. Guru perempuan dengan pengalaman mengajar bidang sains dipilih sebagai guru proyek. Sebelum proyek berjalan, mereka menghadiri pelatihan 6 bulan dan mengembangkan materi KIE untuk digunakan dalam proyek. Kepala proyek membantu guru yang terlibat proyek yang bertanggung jawab untuk masalah administrasi dan mengatur semua keperluan organisasi untuk kelas mengajar. Mereka juga dilatih dalam program pelatihan 6 minggu.

Pencegahan AIDS melalui Pendidikan Nasional dan Konseling Informal: Menjangkau Remaja Bekerja di Pabrik (Thailand)

Walaupun Thailand mempunyai banyak pengalaman di bidang pencegahan HIV/AIDS, perhatian difokuskan untuk mengatasi peningkatan kejadian infeksi HIV pada remaja pekerja pabrik. Proyek itu merupakan upaya pertama untuk menjangkau kelompok remaja.
Ada tiga kegiatan utama dari proyek: (1) Pengembangan materi pelatihan dan pendidikan untuk kelompok sasaran; (2) pelatihan pelatih; dan (3) pelatihan manajer atau pemilik pabrik dan remaja pekerja pabrik.
Proyek ini menyadari bahwa memiliki pengertian yang menyeluruh dari kesehatan reproduksi dapat memperkuat pemahaman mereka mengenai HIV/AIDS dan pencegahannya, sehingga membuat proyek pencegahan HIV/AIDS lebih efektif. Untuk itulah, proyek akan mengadopsi pendekatan kesehatan reproduksi pada fase kedua dari pelaksanaan proyek. Pada saat bersamaan, akan ditekankan pada keterampilan pencegahan.

Young Inspirers (YI): Menjadikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Sebuah Isu Pada Remaja (India)

Nilai agama dan budaya sangat kuat mengakar di Lucknow, India. Dalam lingkungan inilah sekelompok remaja memberikan informasi dan konseling mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja. Sejak 1993, Young Inspirers (YI) telah membangkitkan partisipasi remaja melalui pendekatan partisipatoris dalam implementasi program. Remaja dapat menyampaikan minat mereka dan menyarankan cara mengatasi masalah. Mereka yang dijangkau oleh YI didorong untuk menyebarkan pesan ke keluarga dan teman mereka lalu menciptakan efek berulang.

Youth Advisory Centre (Malaysia)
Pusat Penasehat Remaja (Youth Advisory Centre/YAC) telah menyediakan ruang untuk remaja sejak 1979. Remaja yang datang ke YAC memiliki akses informasi, pelayanan (konseling dan keterampilan pelatihan), sebuah perpustakaan dan yang terpenting, seseorang yang mau mendengarkan mereka. YAC menjalankan kegiatan outreach di mana remaja di sekolah dan di luar sekolah terjangkau. Remaja di sekolah dididik mengenai kesehatan, seksualitas, komunikasi dan pemecahan masalah melalui bermain peran dan permainan sangat tenar. Lokakarya di pabrik khusus ditargetkan untuk remaja perempuan. Karena masalah peraturan, YAC tidak menyediakan pelayanan kontrasepsi. Namun demikian, YAC telah mengembangkan rujukan dengan dokter sukarela sehingga remaja memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan itu.


Development and Family Life Education for Youth (Filipina)
Program Pengembangan dan Pendidikan Kehidupan Keluarga Bagi Remaja (Development and Family Life Education for Youth) telah mampu mengumpulkan dukungan untuk kegiatannya karena mereka melaksanakannya dalam kenyataan kontemporer dari perilaku seksual remaja yang sensitif untuk budaya lokal.
Program ini terdiri dari Pusat Remaja yang diatur oleh sukarelawan remaja terlatih. Pusat ini dibuka setiap hari dari pukul 9 pagi sampai sore, dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan perpustakaan mini. Ruangan terpisah disediakan untuk pelayanan konseling dan hotline telepon. Ruang penerimaan dilengkapi dengan fasilitas audio-visual dan permainan dalam ruangan, digunakan untuk focus group discussions, pertemuan dan seminar dan interaksi sosial. Sebagai tambahan pula, kegiatan outreach mencakup peningkatan pendapatan proyek juga dilakukan.
End notes
1 "The Health of Young People: A Challenge dan a Promise". World Health Organization, 1993.
2 Ibid.
3 Nafis Sadik (ed.), "Making a Difference: Twenty-five Years of UNFPA Experience", UNFPA 1994, pp 25.
Source: INTERNATIONAL COUNCIL ON MANAGEMENT OF POPULATION PROGRAM WEBSITE (http://www.icomp.org.my/inno2/inno2c1.htm)
Remaja Merupakan Fokus dari Upaya Pencegahan AIDS
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 10:25.
• Artikel
Oleh: Alan Mozes
Hampir 12 juta laki-laki dan perempuan di bawah usia 24 tahun positif HIV di seluruh dunia. Dengan peningkatan jumlah setiap harinya, para ahli kesehatan masyarakat terpanggil untuk memfokuskan perhatian sedunia pada generasi AIDS. Remaja merupakan kelompok yang paling rentan secara fisik dan psikis terhadap infeksi.
Pada konferensi pers di Burkina Faso, Afrika, sekelompok peneliti dari USAID dan John Hopkins University (JHU) mengumumkan temuan dari laporan terbaru JHU mengenai AIDS pada remaja.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa AIDS menyebabkan banyak korban pada remaja sehingga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan dukungan politik, keuangan, pendidikan dan sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
Karungari Kiragu dari JHU menganggap bahwa sudah terlambat untuk mencegah kematian akibat AIDS yang sedemikian besarnya. Perkiraan ini berdasarkan terbatasnya pilihan, baik untuk penanganan yang mencukupi dan memuaskan di negara berkembang, serta pentingnya mencegah prevalensi yang lebih besar dari perilaku berisiko pada mereka.
Pembicara menekankan bahwa remaja harus menjadi fokus dari semua strategi mendatang yang mengandung informasi penyebaran virus, dengan menekankan bahwa tekanan sebaya, kekurangsadaran dan kebingungan remaja berpengaruh lebih besar dari perilaku berisiko pada generasi ini.
Laporan ini menekankan kebutuhan program pendidikan seks ditujukan khusus untuk remaja di negara berkembang. Tercatat bahwa 95% dari semua infeksi HIV terjadi pada negara miskin dan berkembang, padahal 95% dana pencegahan AIDS telah dihabiskan di negara maju.
Menurut Neil McKee, di Uganda, promosi pendidikan seksual dapat punya efek positif seiring dengan waktu berjalan. Dia memberikan contoh Uganda di mana program pendidikan seks (untuk menggerakkan komunikasi lebih terbuka dan pelayanan kesehatan untuk remaja) dapat memperlambat penyebaran HIV.
JHU mengulang tipe yang sama dari pendekatan ini di beberapa negara dengan keberhasilan di Ghana dan Zambia
Intinya, kata McKee, melakukan tindakan segera secepat mungkin untuk membuat perbedaan besar dalam menghentikan penyebaran AIDS pada remaja. Tindakan yang difokuskan pada remaja mungkin merupakan intervensi paling efektif dari segi biaya (cost-effective) jika mampu membuat perubahan segera di masyarakat.
diterjemahkan oleh Laily Hanifah
Sumber: Yahoo News (http://dailynews.yahoo.com/htx/nm/20011211/hl/hiv_61.html)




Paradigma Baru untuk Pengurangan Dampak Buruk Narkoba
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 10:29.
• Artikel
Pengurangan dampak buruk narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) harus dilihat dengan paradigma baru, karena pengguna narkoba sebenarnya juga merupakan korban yang harus ditolong. Di sisi lain harus diketahui bahwa kelompok pengguna narkoba dengan jarum suntik (IDU-Injecting Drug Users) merupakan salah satu faktor penyebab ledakan epidemi HIV/AIDS.
Demikian kesimpulan diskusi panel yang menandai peluncuran buku bertajuk "Dasar Pemikiran Pengurangan Dampak Buruk Narkoba" untuk daerah Bali, yang berlangsung Selasa (8/1) di Denpasar.
Para IDU, untuk mengurangi potensi penularan HIV/AIDS harus sadar untuk berperilaku aman yaitu dengan menggunakan jarum suntik yang steril. Jarum steril didapatkan dengan menggantinya dengan jarum baru atau mensterilkan jarum dengan pemutih pakaian. Karena itu, dibutuhkan pendamping yang tidak hanya mengajarkan perilaku aman, tetapi juga memberikan penyuluhan mengenai dampak buruk narkoba itu sendiri.
Namun, menurut relawan dari Yayasan Hati-Hati, Wayan Juniartha yang menjadi salah satu panelis, "Saat ini orang masih memiliki paradigma yang keliru terhadap pengurangan dampak buruk narkoba. Padahal, pengguna narkoba dengan suntikan yang terinfeksi HIV/AIDS meningkat sekitar 30 persen dalam lima bulan." Data dalam buku itu menunjukkan kenaikan terjadi antara Desember 2000-Mei 2001.
Dia mengemukakan, untuk memberantas narkoba harus dilakukan gerakan menyeluruh dengan mengurangi suplai, mengurangi permintaan, dan mengurangi dampak buruk. Dari tiga hal tersebut, soal mengurangi dampak buruk masih kurang mendapat perhatian, karena umumnya masyarakat ber-pandangan pengguna menderita akibat kesalahannya sendiri.
Selain itu gerakan memberantas narkoba juga membutuhkan keputusan politik yang tegas dari pemerintah. "Seperti negara Amerika serikat (AS), mereka berani mengeluarkan dana banyak termasuk untuk menangkap gembong narkoba di Kolombia," ujar Ketua Kerti Praja Dewa N Wirawan MD MPH. Tahun 1999, menurut data dalam buku tersebut, AS mengeluarkan dana sebesar 17 milyar dollar AS tahun 1999, meningkat dari 5 milyar dollar AS pada tahun 1988.
Tentangan

Konsultan HIV/AIDS di Yayasan Spiritia, Chris W Green mengungkapkan, kendala terbesar dalam mengkampanyekan gerakan pengurangan dampak buruk narkoba berkaitan dengan penyebaran HIV/AIDS, adalah kekhawatiran pemerintah akan adanya kelompok tertentu yang menentang.
"Sebenarnya Departemen Kesehatan dalam hal ini menterinya, sudah amat mendorong pengurangan dampak buruk narkoba ini. Namun, masih dicari cara agar tidak mendapatkan tentangan keras di masyarakat," ujar Green.
Persoalan IDU dengan HIV/ AIDS ini amat sulit dideteksi karena pengguna narkoba sendiri juga sulit diketahui. "Jika diasumsikan sekitar 1.365.000 orang pecandu narkoba, diperkirakan 60 persen IDU. Dari jumlah itu 70 persennya menggunakan jarum suntik bergantian sehingga ada sekitar 15 persen yang terinfeksi HIV/AIDS. Ini berarti ada sekitar 64.500 orang pecandu narkoba yang mengidap HIV/AIDS," ujar Green.
Di lapangan, menurut Ketua Yayasan Hati-Hati, Yacintha, memang ada kelompok yang tidak suka dengan kegiatan mereka. "Kami disangka mengajarkan mengonsumsi narkoba. Selain itu juga ada kekhawatiran kalau ada operasi polisi. Pernah anggota kami kena tangkap," ujarnya. (isw)
sumber: Kompas Cyber Media (http://www.kompas.co.id/health/news/0201/10/002832.htm)



Budaya Populer Pengaruhi Pola Pikir Remaja soal Seks
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 10:35.
• Artikel
Pada akhirnya remaja mengakui bahwa orangtua mereka berpengaruh dalam membentuk pemikiran mereka soal seks. Sikap orangtua berpengaruh bagi mereka terutama dalam penentuan sikap sang remaja. Pengakuan tersebut merupakan hasil survei yang baru-baru ini dilakukan terhadap remaja Amerika yang tinggal di Washington.
"Saat anak-anak mulai berangkat remaja dan keinginan seks datang, banyak orangtua merasa kehilangan anak-anaknya karena mereka sulit untuk dijauhkan dari budaya populer yang lebih mudah menjangkau mereka. Tetapi survei yang dilakukan petugas Kampanye Nasional untuk Pencegahan Kehamilan pada Remaja justru bertolak belakang," demikian aku petugas tersebut dalam laporan mereka.
Walau para remaja mengakui pengaruh teman masih sedemikian kuat juga. Para gadis mengakui tekanan dari pasangan mereka masih kuat. Sedangkan remaja pria mengakui teman masih merupakan unsur dominan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama kampanye tersebut ada hasil mengejutkan, bahwa untuk urusan skes ini remaja masih banyak mendapat pengaruh dari orangtua sebesar 38 persen. Dan sebagian lagi sekitar 32 persen mengaku mendapat pengaruh dari teman untuk memutuskan segala sesuatu.
Sementara itu sekitar 50 persen orangtua justru menganggap remaja mereka mudah terpengaruh untuk melakukan hubungan seks pertama kali dari teman-temannya.
Para remaja mengakui teman memang sangat berpengaruh dalam menentukan pola pikir dan sikap mereka. Sekitar 94 persen mengakui, pengaruh teman setidaknya berperan dalam dalam hal cara berpikir untuk melakukan hubungan seks
Tetapi tekanan pengaruh yang diterima remaja pria dan wanita berbeda. Sekitar 37 persen remaja wanita mengaku sering mendapat tekanan dari pasangannya. Sementara 45 persen remaja pria mendapat pengaruh dari teman-temannya, hanya sekitar 19 persen yang mengaku mendapat pengaruh dari pasangannya.
"Karena itu hal yang paling diprioritaskan adalah melakukan penyuluhan terhadap remaja pria. Saat ini masih ada pendapat keliru bahwa kehamilan remaja hanya merupakan problem remaja wanita. Padahal kehamilan itu terjadi karena peran pasangannya," ujar Bill Albert salah satu petugas kampanye untuk mencegah kehamilan remaja.
Berkat kampanye yang sering dilakukan setiap tahun, maka angka kelahiran dari remaja wanita turun sampai 20 persen sejak tahun 1991. Berkat penyuluhan yang sering dilakukan petugas, didapat hasil cukup memuaskan bahwa remaja dan dewasa muda semakin takut berhubungan seks dengan alasan terkena AIDS atau penyakit menular seksual lainnya.
Survei juga menemukan suatu bukti baru yang cukup memuaskan. Bahwa sebagian besar remaja dan dewasa muda berpikir bahwa sebaiknya remaja menunda waktu hubungan seks pertama mereka hingga saat yang tepat.
"Argumen seru yang terjadi di kalangan muda akan menjadi strategi yang efektif dengan disertai tindakan upaya pencegahan dan kampanye pemakaian alat kontrasepsi."
Secara spesifik, sekitar 73 persen orang dewasa dan 56 persen remaja mengakui remaja sebaiknya tidak melakukan hubungan seks. Tetapi jika pun mereka sudah mengakuinya, harus mendapat akses dan aktif dilibatkan dalam program keluarga berencana.
Sementara itu 50 persen orang dewasa dan 18 persen remaja mengatakan harus ada tindakan tegas bagi remaja yang nekat melakukan hubungan seks secara bebas. Sedangkan sekitar 12 persen orang dewasa dan 25 persen remaja terlihat lebih liberal. Mereka mengatakan remaja boleh melakukan kehendak mereka soal hubungan seks sepanjang akses untuk memperoleh layanan kesehatan juga terbuka lebar bagi mereka.
Pendukung program keluarga berencana sebesar 24 persen remaja dan 28 persen orang dewasa, mengatakan optimistis berbagai penyuluhan bisa mencegah tindakan remaja untuk berbuat nekat.
Survei di atas dilakukan petugas kampanye di Washington sejak Januari sampai Februari 2001 terhadap 1.002 remaja usia 12 sampai 19 tahun dan 1.024 orang dewasa. Menurut petugas, tingkat kesalahan terhadap survei itu hanya sekitar 3 persen.



Mengapa Gadis Kota Melakukan Seks Pra Nikah?
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 10:45.
• Artikel
Lumrahkah gadis kota melakukan seks pra nikah? Kabarnya, gadis-gadis tersebut memang suka dengan seks. Akibatnya risiko PMS tertinggi diderita mereka. Penemuan terbaru Dr Jan E. Paradise dari Boston University School of Medicine, Massachussetts, pada risetnya yang terbaru. Seperti yang diungkapkannya pada Reuters Health, Paradise mengetahui kenyataan ini saat meneliti tentang bagaimana mengedukasi para remaja yang aktif secara seksual untuk mengurangi risiko tertular PMS (Penyakit Menular Seksual).
Bukan tanpa alasan wanita doktor ini meneliti hal itu. Pasalnya, risiko PMS paling tinggi ternyata diderita oleh generasi berusia 15-30 tahun. Bersama rekan-rekan sekerja, Paradise membagikan kuesioner kepada 197 remaja berusia 14 tahun ke atas yang sedang mengunjungi klinik remaja di daerah urban. Cewek-cewek itu ditanyai berbagai pertanyaan, termasuk di antaranya kegiatan seksual mereka serta apa saja yang memotivasi mereka untuk berhubungan intim. Hasil riset ini, lantas dipublikasikan di Journal of Adolescent Health.
Ada juga yang masih perawan
Yang melegakan, rupanya tak semua gadis remaja itu pernah melakukan hubungan intim. Empat puluh dari mereka mengatakan bahwa mereka masih 'tingting' alias perawan. Lalu, 25 orang lagi bilang bahwa mereka sebenarnya sudah tidak perawan, tapi sudah tiga bulan terakhir ini tidak melakukan hubungan intim. Tapi, mayoritas responden, atau 132 orang, terus terang mengungkapkan bahwa mereka adalah pelaku aktif seksual.
Seperti yang telah disebutkan di atas, alasan para gadis belia itu untuk berseks-ria adalah karena suka atau cinta pada pasangannya. Sementara itu, sepertiga dari responden yang pernah melakukan hubungan seksual mengaku bahwa mereka bersanggama karena menyukai seks itu sendiri.
Tapi, apakah alasan mereka yang masih perawan atau sedang tidak aktif secara seksual dalam menghindari hubungan intim? Sungguh tak dinyana, alasannya ternyata didasari oleh kepercayaan pribadi mereka sendiri. Misalnya, yang perawan dan bukan pelaku aktif seksual menyebutkan bahwa tiga alasan utama mereka adalah 'bukan hal yang benar bagi saya sekarang' (perawan=82%, bukan pelaku aktif=50%), 'menunggu sampai saya lebih dewasa' (69% vs 8%), dan 'menunggu sampai saya menikah' (67% vs 38%). Selain itu, 23% perawan dan 13% bukan pelaku aktif menyatakan bahwa 'hal itu bertentangan dengan agama saya' sebagai alasan mereka tidak melakukan hubungan intim.
Bandingkan pernyataan itu dengan dua alasan terbesar teman-teman sebaya mereka yang giat melakukan hubungan intim, yaitu 'Habis, saya suka/cinta dia, sih' (86%) dan 'Habis, saya emang suka bersenggama'.
Paradise sendiri mengharapkan, hasil penelitian ini akan memudahkan pengembangan pendidikan seks bagi remaja - terutama dalam upaya mencegah PMS. Oleh sebab itu, edukasi tentang 'penggunaan kondom' dan 'membatasi jumlah pria yang menjadi pasangan seks' mutlak diperlukan.
"Usaha-usaha untuk berbicara dengan mereka agar tahu waktu yang tepat untuk berhubungan intim dan apa maknanya suatu hubungan yang serius serta komit, mungkin bisa jadi strategi yang menolong," kata Paradise lagi.



Mengkhawatirkan, Perilaku Seks Anak Rantau
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 11:05.
• Artikel
Mengkhawatirkan dan menakutkan. Dua kata ini agaknya tepat untuk menggambarkan perilaku seks anak rantau (imigran), khusunya para TKI yang mengais ringgit di Malaysia. Ditengarai, karena jenuh dan kesepian, mereka berani 'menyelundupkan' perempuan nakal ke perkampungan.
Para TKI yang rata-rata berusia antara 20-35 tahun umumnya tak menyadari ada bahaya mengintip di balik perilaku seks mereka. Banyak di antara mereka yang berangkat sebagai TKI hanya beberapa minggu setelah menikah. Ini terutama terjadi pada pasangan yang sebelum menikah belum bekerja. Dorongan seksual yang terpendam itu akhirnya tak tertahankan lagi setelah berbulan-bulan bekerja di perkebunan yang jauh dari keramaian dan sepi.
Harus diakui, kegiatan migrasi dengan bekerja sebagai TKI memberikan sumbangan besar bagi pendapatan keluarga di kampung halaman. Sebuah penelitian di Lombok mengungkapkan, pendapatan (remitan) dari bekerja sebagai TKI di Malaysia memberikan kontribusi 57,02 % terhadap pendapatan keluarga.
Pada sisi lain, bekerja sebagai TKI ke Malaysia membawa konsekuensi yang cukup berat, yakni berpisah dengan keluarga dalam waktu yang cukup lama. Maklum saja, mereka hanya menjenguk keluarganya hanya sekali dalam 1 atau 2 tahun. Kehidupan TKI yang terpisah dengan keluarganya dalam jangka waktu yang cukup lama ini akhirnya menimbulkan perilaku negatif selama mereka bekerja di Malaysia.
Keletihan mereka bekerja di perkebunan, kebosanan, dan kesepian selama di perantauan diobati dengan datangnya para pelacur dari kota. Seperti dikutip Yayasan Pelita Ilmu, beberapa TKI di Malaysia mengakui bahwa setiap minggu sejumlah pelacur di datangkan ke perkebunan-perkebunan tempat mereka bekerja. Sebagian dari rekan mereka tidak bisa menahan diri dan inilah salah satu sebab mereka tidak dapat mengirim uang kepada keluarganya karena pendapatannya habis untuk melacur.
Perilaku seksual seperti ini selama di Malaysia tentu akan membuatnya rentan terhadap penularan berbagai penyakit menular seksual (PMS) dan HIV. Pendidikan mereka yang rata-rata rendah juga makin memperbesar resiko ini. Pengetahuan mereka tentang PMS dan HIV/AIDS sangat terbatas.
Dampak selanjutnya yang lebih membahayakan adalah bila para TKI yang telah tertular atau membawa PHS dan virus lainnya ini pulang menjenguk keluarganya di daerah asal. Mereka bisa menularkan PMS, virus HIV, atau penyakit alat reproduksi lainnya terhadap istri mereka. Juga bila mereka pulang dan kemudian kawin lagi dengan perempuan di daerah asal, tentu akan mempunyai risiko tinggi untuk menularkan kepada pasangannya.
Mengingat besarnya arus pekerja migran ke Malaysia dari tahun ke tahun dan dengan kondisi lingkungan kerja yang rawan terhadap mereka untuk tertular berbagai PHS dan HIV/AIDS diperlukan berbagai langkah awal untuk mengantisipasi permasalahan tersebut. Untuk itu, sebagai langkah awal diperlukan suatu kajian terhadap perilaku seksual pekerja migran selama mereka bekerja di Malaysia.
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pendidikan pekerja migran (TKI), problem yang mendasar adalah bagaimana meningkatkan pengatahuan mereka mengenai PMS, HIV/AIDS, gejala-gejalanya, penyebabnya, dan cara penularannya. Hal ini penting untuk dikaji karena perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan tentang penyakit itu.
Dalam berhubungan dengan para pelacur. Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak terpikir tentang akibat yang bisa di timbulkan. Tindakan pencegahan penyakit hubungan seksual dan HIV/AIDS juga tidak pernah terpikir oleh mereka sehingga dalam melakukan hubungan seksual, hampir semua TKI tidak pernah menggunakan kondom.
Yayasan Pelita Ilmu menyimpulkan, perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti pelatihan, penyuluhan, pendidikan atau berbagai bentuk kegiatan lainnya untuk peningkatan pengetahuan TKI tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang sehat. Ini harus menjadi prioritas karena calon TKI dan TKI yang sudah bekerja termasuk golongan berisiko tinggi penularan PMS dan HIV/ AIDS.
Dalam mempersiapkan pekerja migran (TKI) yang akan berangkat ke luar negeri, pihak terkait (Depnaker maupun Perusahaan PJTKI) tidak hanya memperhatikan soal teknis seperti keterampilan TKI, tetapi sudah semestinya memperhatikan soal non teknis seperti pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, untuk membentuk kesadaran akan kehidupan seksual yang aman. Sudah mendesak untuk dilakukannya penyusunan suatu materi pokok (sylabus) pendidikan dan pelatihan tentang kesehatan reproduksi dan memasukannya dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya perlu meninjau kembali berbagai kesepakatan atau kontrak kerja dengan pengguna jasa TKI di luar negeri atau dapat menciptakan kondisi lingkungan kerja dan lingkungan tempat tinggal yang lebih nyaman bagi mereka, seperti kondisi perumahan layak, tersedianya sarana hiburan, sarana peribadatan atau pengembangan kegiatan- kegiatan lainnya yang akan dapat memberikan perasaan nyaman dan kerasan bagi TKI. [hnl]
sumber: satulelaki



Seksualitas Remaja Indonesia
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 11:06.
• Artikel
Oleh: Siti Rokhmawati Darwisyah
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan pada remaja putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI & NFPCB, 1999b:14).
Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi

Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa.
Kebanyak orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain (Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks (Iskandar, 1997:3).
Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah (Iskandar, 1997:1).
Sikap Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi

Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun 1998 memperlihatkan sikap yang sedikit berbeda
dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-laki berhubungan seks sebelum
menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia (Hatmadji dan Rochani, 1993) menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengetahuan mengenai kontrasepsi sudah harus dimiliki sebelum menikah.
Perilaku Seksual Remaja

Survei remaja di empat propinsi kembali melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah seksual aktif. Persentase remaja
yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra dan 2,3% remaja putri (LDFEUI & NFPCB,
1999:101). Sebuah survei terhadap pelajar SMU di Manado, melaporkan persentase yang lebih tinggi, yaitu 20% pada remaja putra dan 6% pada remaja putri (Utomo, dkk., 1998).
Sebuah studi di Bali menemukan bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah seksual aktif. Studi di Jawa Barat menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan pedesaan yang telah seksual aktif yaitu berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996: Tabel 8b).
Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair melaporkan bahwa interval 8-10 tahun adalah
rata-rata jarak antara usia pertama kali berhubungan seks dan usia pada saat menikah pada remaja putra, sedangkan pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun (Saifuddin dkk, 1997:78).
Tentu saja angka-angka tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya, mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak setiap orang bersedia mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila angka sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dilaporkan.



Tinjauan Umum Kesehatan Reproduksi Remaja
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 11:08.
• Artikel
Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) ter-masuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual (FCI, 2000).
Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting?
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah (Kiragu, 1995:10, dikutip dari Iskandar, 1997).
Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran (Iskandar, 1997). Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena
kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di pedesaan, haid
pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini (Hanum, 1997:2-3).
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak (child physical abuse).
Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (Iskandar, 1997).
Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh (O’Keefe, 1997: 368-376).
Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan (Kipke et al., 1997:360-367). Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat, minuman
beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi (Iskandar, 1997).
Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja
Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal (Pachauri, 1997).
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual (Iskandar, 1997).
Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja (Iskandar, 1997).
Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja (Outlook, 2000).
Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality (Senderowitz, 1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi pada klien.
(Disusun dan diterjemahkan oleh Siti Rokhmawati Darwisyah)



Remaja Harus Dapat Informasi Kespro (kesehatan reproduksi)
Ditulis oleh dahlanforum di/pada Agustus 30, 2009
Setiap remaja mempunyai hak yang sama mendapatkan akses dan informasi yang tepat berkaitan dengan kesehatan reproduksi (kespro).
Sebab itu, program kespro perlu disosialisasikan tak hanya di sekolah dan pondok pesantren, tapi juga di perguruan tinggi dan organisasi kepemudaan di setiap kecamatan. Hal ini guna mencegah terjadinya seks bebas dan terjangkitnya HIV/AIDS di kalangan remaja.
“Sebab itu, sosialisasi program kespro di kalangan remaja harus lebih pada menanamkan kesadaran akan arti pentingnya kespro. Mengingat masih banyak keluarga atau orang tua yang tidak memberi cukup ruang bagi anak-anaknya untuk bertanya tentang kespro. Juga agar remaja memiliki pemahaman tentang kesehatan reproduksi dari sisi medis tentunya,” kata Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Lampung Muchsin Hamza, didampingi Kepala Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi Edy Warman dan Sekretaris BKKBN Lampung Agus Sulaiman di kantornya, Jumat (5/10).
Dengan demikian, remaja bisa memahami pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, bahaya penyakit HIV/AIDS, bahaya narkoba, dan seks bebas. Ia mengakui pemahaman masyarakat terhadap kespro masih rendah karena mereka menganggap kespro merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan.
Banyak masyarakat bahkan pengambil kebijaksanaan memiliki persepsi yang keliru tentang kespro. “Seolah-olah bicara kespro itu mengajari remaja bagaimana berhubunggan seks. Sebab itu, banyak remaja tak paham apa itu kesehatan reproduksi,” ujar Muchsin.
Akibat minimnya pengetahuan tersebut banyak kasus-kasus kespro terjadi seperti kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi, seks bebas, serta narkoba.
Padahal, masalah kespro itu luas. Tak mempelajari fungsi organ-organ tubuh, tapi juga masalah pubertas, tumbuh kembangnya remaja, hak-hak remaja, hingga masalah menstruasi, mimpi basah, masturbasi, pacaran, dan sebagainya.
“Bila para remaja memahami hal tersebut, mereka tidak akan melakukan penyimpangan seperti KTD, aborsi, narkoba, dan penyakit menular seksual (PMS),” ujar Muchsin.
Oleh sebab itu, pihaknya gencar menyosialisasi melalui berbagai kegiatan bekerja sama Sentra Kawula Muda Lampung (Skala) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Lampung, perguruan tinggi, sekolah-sekolah, pondok pesantren, dan organisasi kepemudaan di setiap kecamatan.
Bahkan, kini BKKBN mampu membentuk 116 Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi (PIK KRR) di Lampung. Masing-masing dua PIK KRR di Universitas Lampung dan Universitas Malahayati Lampung. Lalu PIK KRR dengan membentuk Sanggar Konsultasi Remaja (SKR) di 32 SMA, 10 pondok pesantren, 72 PIK KRR di kecamatan.
Sumber: Lampung Post edisi 6 Oktober 2007



Daftar Pustaka

Iskandar, Meiwita B. "Hasil Uji Coba Modul Reproduksi Sehata Anak & Remaja untuk Orang Tua." Makalah pada Lokakarya Penyusunan Rencana Pengembangan Media, diselenggarakan oleh PKBI, Jakarta, 20-21 Mei 1997.
Kristanti, Ch. M dan Depkes. Status Kesehatan Remaja Propinsi Jawa Barat dan Bali: Laporan Penelitian 1995/1996. Jakarta: Depkes-Binkesmas-Binkesga, 1996.
LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999 Book I. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999a.
LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999. Executive Summary and Recommendation Program. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999b.
Rosdiana, D. Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Seks untuk Remaja. Dalam N. Kollman (ed). Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998:9-20.
Saifuddin, A. F., dkk. Perilaku Seksual Remaja di Kota dan di Desa: Kasus Kalimantan Selatan. Depok: Laboratorium Antropologi, FISIP-UI, 1997.
Utomo, B., Haryanto B. Dharmaputra, D. Hartono, R. Makalew, dan J. Moran Mills. Baseline STD/HIV/Risk Behavioral Surveillance 1996: Result from the Cities of North Jakarta, Surabaya, and Manado. Jakarta: Center for Health Research University of Indonesia, the Ministry of Health RI, dan HAPP/Family Health International, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar